Tweets Seputar Kereta

Masukkan email:

Thursday, 4 September 2014

Yah..itulah yang musti kita perhatikan akhir-akhir ini. Yang saya maksud adalah apa yang kita batin kadang-kadang jadi kejadian, dan cilakanya itu kejadian yang enggak enak. Maka kita musti ati-ati kalo mbatin yang nggak enak. Entah kata orang tua dulu namanya setan lewat, atau wali lewat, atau malaikat lewat. Saya ndak tau persis cara membedakan yang lewat siapa, tapi ya itu tadi..ati-ati saja.



Contonya saya tempo hari. Tiap Jumat, pulang dari kota santri, saya biasanya oper bis di terminal Arjosari lalu naik bis lagi ke kabupaten saya. Saya pikir kalau mainstream gini (hayaah..opoo iki…) saya kok ya bosen juga. Maka saya naik bis turun terminal Arjosari dan berniat nyambung naik kereta api. Saya pun ke stasiun, beli karcis jurusan kabupaten saya, dikasih tau polsuska kalau keretanya di peron 3. FYI, peron 2 dan 3 itu ya satu kanopi maka saya dengan pedenya naik salah satu dari dua kereta yang sudah nongkrong di situ. Kereta pun jalan, dan tau ndak pemirsa, ternyata keretanya berjalan mundur. Bukan karena saya duduknya membelakangi arah kereta, tapi maksud saya keretanya berjalan balik ke arah kota santri. Saya salah naik keret, harusnya saya naik kereta yang sebelahnya tadi! Halah,…jiyan bikin blingsatan, mana udah jalan kenceng baru saya sadar pula. Ini kereta jurusan ke Banyuwangi sana. Lah saya bisa mbambung alias nggembel alias jadi gelandangan di sana. Saya pun harap-harap cemas berdiri di pintu berharap keretanya berhenti di stasiun pertama.

Alhamdulillah memang keretanya berhenti di stasiun Blimbing yang ndak ada pohon blimbingnya itu. Saya turun..nyegat angkot, jurusan Arjosari, lalu naik bis ke arah kabupaten saya. Mau dongkol ya dongkol sama saya la wong yang gebleg itu saya sendiri jeh. Yang jelas 2 jam terbuang percuma..saya jadi pulang telat 2 jam, padahal kalau ketemu Bune, 2 jam itu udah sempat 2 ronde momong anak-anak jeh.

Minggu berikutnya saya masih dendam membara sama kereta. Maka saya putuskan, saya haarrruussss naik kereta api lagi. Dan saya pun mengulangi rute saya tempo hari dan memastikan tidak salah naik kereta. Dan syukurlah saya naik kereta yang benar. Ndak kebagian tempat duduk saya pun nglesot di lantai karena capek. Saya berbaur dengan mahasiswa yang mau pulang ke kabupatennya masing-masing dan tentu saja mahasiswi dong…buat apa saya naik kereta ini?

Kereta baru berjalan,..dan saya membatin..wah…itung-itung untuk menghibur dan award atas usaha saya naik kereta api, boleh nih kalau saya jadi saksi mata peristiwa apa gitu di kereta api. Bisa buat bahan cerita saya sama Bune saya tercinta di rumah.
Satu jam perjalanan tidak terjadi apa-apa,..ketika kereta api masuk terowongan yang gelap seperti kulit saya yang kepanasan matahari kota santri, lalu keluar, dan masuk terowongan lagi, gelap gitu..bau asap lokomotif begitu menyengat seperti bau muntah bencong alun-alun, liat yang muntah aja udah geli, apalagi liat muntahannya..hiih…

Padahal waktu Bune kuliah, dia pernah naik kereta api dan masuk di terowongan, semua gerbong gelap, lampunya pas mati atau emang nggak dikasih lampu biar copet gampang beroperasi, nggak kayak sekarang gerbong udah pada terang. Lalu tiba-tiba di sebelah Bune berdiri seorang, atau seekor, atau apa ya tepatnya..seonggok,..sebuah,…entahlah …pocong, yang dengan pedenya nampak di hadapan mata Bune. Ini kan seru…coba saya yang mengalami,..sukur-sukur si pocong ngajak suster ngesot, mau saya intip itu suster pake celana dalam apa enggak.

Lah ini masih adem ayem..tapi selang 20 menit kemudian, setelah melewati perlintasan kereta tanpa palang pintu, kereta sekonyong-konyong berhenti,….Saya pikir lagi nunggu sinyal dari stasiun. Tapi kok kereta berjalan mundur. Ada yang nyeletuk. “Wah..nabrak orang nih.” Saya tercekat!

ati-ati kalau lewat kayak gini
 Lah..ternyata beneran, setelah kereta berhenti di perlintasan tadi, para kru kereta turun dan berhamburanlah penduduk desa menyemut di situ. Khas Indonesia yang penuh cinta dan damai ini, dari ratusan penduduk, yang bertindak nggak lebih dari 10 jari,…entah yang lain takut, kagum, ngeri, atau bahkan selfie demi melihat otak korban berwarna putih keluar dari pecahan batok kepalanya bercampur darah segar yang memerah membasahi badannya yang juga penuh luka. Seonggok sepeda motor dengan rombong alias gerobak portabel nangkring di atas joknya, terguling tidak jauh dari korban.

Saya teringat apa yang saya batin ketika tadi kereta api baru berangkat,..dan kelihatannya yang lewat malaikat, malaikat maut.

Reblog dari Penulis Tamu : Zedeen http://zedeen.wordpress.com

0 comments:

Turut didukung oleh :